Hadisaputra
(Dosen Pendidikan Sosiologi FKIP Unismuh Makassar)
Ahad 2 September 2018, yang bertepatan dengan 21 Zulhijjah 1439 Hijriyah, ribuan orang memadati Lapangan Andi Cammi, Rappang, Kabupaten Sidrap. Mereka hadir dari 24 Kabupaten/Kota se-Sulsel, mengikuti Milad ke 109 Hijriyah Muhammadiyah. Hari itu, bertepatan pula dengan 95 tahun (dalam penanggalan hijriyah) kehadiran Muhammadiyah di Sulawesi Selatan.
Kelahiran Muhammadiyah di Sulsel diawali dengan berdirinya Muhammadiyah Group Makassar tanggal 21 Zulhijjah 1344 H (2 Juli 1926). Peresmian dilakukan dalam suatu pertemuan umum terbuka bertempat di salah satu gedung Bioskop G. Wienland di Jalan Komedian (sekarang Jalan Bontolempangan) Kota Makassar.
Menurut Mustari Bosra dkk (2015), peresmian Muhammadiyah Group Makassar yang merupakan cikal bakal Muhammadiyah Sulsel dilakukan dalam suatu pertemuan umum terbuka bertempat di salah satu gedung Bioskop G. Wienland di Jalan Komedian (sekarang Jalan Bontolempangan) Kota Makassar.
Kegiatan pertama yang dilakukan Muhammadiyah Cabang Makassar adalah menyelenggarakan rapat umum mengenai pengembangan organisasi, dan penyebaran dakwah agama Islam, yang dikenal dengan istilah tablig. Orang Makassar menyebutnya tabale’.
Gerakan Tablig (Tabale’)
Dahulu, ulama-ulama Muhammadiyah sering mendapat tantangan debat dari para ulama tradisional yang menentang Muhammadiyah. Masalah yang diperdebatkan biasanya berkisar pada masalah-masalah keagamaan yang dinilai bidah, seperti salat tarwih dua puluh rakaat, qunut subuh terus-menerus, baca talkin di kuburan, dan lain-lain. Demikian ungkap, Sejarawan UNM, Mustari Bosra.
Pertentangan lainnya, lanjut Mustari, terjadi antara Muhammadiyah dengan pejabat parewa sara’, ketika Muhammadiyah mendirikan masjid dan hendak melaksanakan salat Jumat. Menurut adat, dalam satu kampung hanya boleh ada satu masjid tempat pelaksanaan salat Jumat. Penyelenggara ibadah di dalam masjid pun harus pejabat parewa sara’, dan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. Bagi Muhammadiyah, siapa saja dapat menjadi imam, khatib, dan memimpin penyelengaraan ibadah lainnya. Khutbah dapat disampaikan dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah yang dimengerti oleh jamaah.
Tantangan lain, yaitu salat Id di lapangan terbuka. Malah Ketua Muhammadiyah Celebes Selatan pertama, Haji Abdullah, pernah dipolisikan karena menggelar salat Id di lapangan terbuka. Tapi setelah menjalani pemeriksaan, ia mampu membuktikan bahwa praktik ibadah yang ia lakukan memiliki dasar yang kuat. Di sejumlah daerah, tantangan bagi para ulama Muhammadiyah untuk berdebat datang dari para ulama-ulama tradisional ataupun para parewa sara’.
Gerakan Pendidikan (Sikola)
Pada tahun 1928, Muhammadiyah Cabang Makassar membuka sebuah sekolah setingkat sekolah dasar, yaitu Honlandsche Inlandsche School med de Al-Quran (HIS). Sekolah tersebut dipimpin oleh Yahya bin Abdul Rahman Bayasut, seorang keturunan Arab yang pernah mengajar lama di sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Dalam melakasanakan tugas sebagai guru, ia dibantu oleh dua orang guru, yaitu Raden Hilman dan Sangadi Kusumo. Keduanya merupakan utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah Yogyakarta.
Mustari melanjutkan, masih pada tahun 1928, Muhammadiyah Cabang Makassar yang ketika itu masih dipimpin Yusuf Dg Mattiro, membuka satu sekolah lagi, yaitu Munir School semacam madrasah ibtidaiyah sekarang. Berbeda dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah Belanda untuk bumiputera, yang pengajarannya dititikberatkan pada ilmu pengetahuan umum dan Bahasa Belanda dengan sedikit tambahan pelajaran agama, Munir School menekankan pada pelajaran agama dengan sedikit tambahan pengetahuan umum.
Program lain yang digalakkan generasi awal Muhammadiyah di Sulsel ini adalah pemberantasan buta huruf di kalangan anggota Muhammadiyah, baik laki-laki, maupun perempuan. Program tersebut diistilahkan dengan “Menyesal School”.
Menurut Bosra dkk (2015), strategi pendidikan ini pulalah yang digunakan Muhammadiyah dalam mengatasi pelapisan sosial di masyarakat Sulawesi Selatan. “Di masyarakat Makassar dikenal tiga lapisan sosial, yaitu Karaeng, Tusamara, dan Ata. Muhammadiyah tidak menentang pelapisan sosial ini secara terbuka. Tapi berupaya menghadapinya secara transformatif, melalui jalur pendidikan,” tulis Mustari Bosra.
Muhammadiyah membuka sekolah yang bisa diakses oleh semua kalangan, bukan hanya oleh kalangan bangsawan, sebagaimana sekolah miliki pemerintah kolonial. Perlahan, sambung Mustari, kalangan ata yang telah ditempa proses pendidikan akhirnya mampu meningkatkan status sosialnya di tengah masyarakat.
Tantangan Ke depan
Kini, hampir semua ajaran Muhammadiyah yang ditentang oleh masyarakat, telah diamalkan secara meluas. Menurut Gus Dur, salah satu bukti kuatnya pengaruh Muhammadiyah di Indonesia, karena kini hampir semua masjid di Indonesia sudah membolehkan khutbah Jumat dengan bahasa Indonesia, atau bahasa daerah setempat. Selain itu, kini salat Id di Indonesia sebagian besar dilaksanakan di lapangan, kecuali jika terjadi hujan. Pelaksanaan salat Jumat pun kini bisa berlangsung di banyak masjid, bahkan tempat-tempat keramaian, seperti hotel dan mal.
Namun tantangan dakwah Muhammadiyah sudah berbeda dengan abad sebelumnya. Jika pada abad dahulu Muhammadiyah di Sulsel telah sukses dengan gerakan tablig (tabale’) dan pendidikan (sikola), kini sejarah menanti inovasi Muhammadiyah. Milad Muhammadiyah ke 109 H atau bertepatan dengan 95 tahun kehadiran Muhammadiyah di Sulsel adalah momentum tepat untuk merefleksikan gerak dan langkah. Selamat Milad Muhammadiyah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar