Menguak Tabir Budaya Korupsi



Hadisaputra
Dosen Pendidikan Sosiologi
Unismuh Makassar 

Secara sederhana, korupsi mempunyai makna: “usaha-usaha untuk mengamankan kekayaan atau kekuasaan melalui cara-cara tidak sah, memburu keuntungan pribadi atas biaya rakyat” (Arnold Heidenheimer).

Sebenarnya korupsi ada dimana-mana, dalam masyarakat yang kompleks dari Mesir Kuno, Israel, Roma dan Yunani sampai sekarang. Pemerintahan diktator dan demokrasi; ekonomi feodal, kapitalis dan sosialis; budaya dan institusi agama, semuanya mengalami korupsi. Oleh karenanya, korupsi tidak dapat diperlakukan sebagai disfungsi yang dapat dikurangi oleh ketabahan manusia. Tulisan ini ingin melihat anatomi korupsi dengan pendekatan kebudayaan.

Tekanan Sosial
Pertama, Tekanan Sosial dan Kesempatan. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Robert Merton. Ia mengisyaratkan bahwa korupsi termotivasi oleh sikap yang berasal dari tekanan-tekanan sosial yang tidak berbanding lurus dengan kesempatan mewujudkannya. Misalnya tekanan untuk memiliki pendapatan tinggi atau status sosial, namun sayangnya, banyak orang yang sedikit saja aksesnya pada struktur kesempatan (apakah karena ras, etnisitas, atau karena kekurangan keahlian, modal, materi dan sumber daya manusia lainnya) untuk menggapainya.

Konsekuensinya, banyak orang yang sudah menyadari sejak awal bahwa mereka punya sedikit saja akses dalam hal kesempatan, akan menolak aturan-aturan permainan dan mencoba untuk berhasil dengan cara-cara yang tidak konvensional (inovatif atau kriminal). Intinya bahwa budaya-budaya yang menitikberatkan keberhasilan ekonomi sebagai tujuan penting, tetapi sangat membatasi akses pada kesempatan-kesempatan, akan mempunyai tingkat korupsi yang lebih tinggi.

Kedua, Familisme Amoral. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Edward Banfield. Teori Banfield mengasumsikan bahwa korupsi sebagian besar merupakan sebuah ekspresi partikularisme; perasaan wajib membantu, memberikan sumber-sumber bagi orang yang menanam budi, terutama sekali pada keluarga, teman dan anggota kelompok. Nepotisme adalah ekspresinya yang paling jelas. Kebalikan dari partikularisme adalah universalisme, komitmen untuk memperlakukan yang lain dengan standar yang serupa. Norma-norma pasar mengekspresikan universalisme; karenanya, kapitalisme murni tampil dan ditopang oleh nilai-nilai seperti itu.

Edward Banfield dengan mempelajari Italia bagian selatan, menganalisis lebih jauh dengan konsep “familisme yang tak bermoral” (amoral familism): sebuah budaya yang dianggap kurang baik dalam nilai-nilai komunitarian tetapi menguatkan ikatan keluarga. Ia menulis: “Dalam sebuah masyarakat dengan para famili yang tak bermoral, tak ada seseorang yang memajukan kepentingan kelompok, atau komunitas kecuali hal itu menguntungkan dirinya sendiri.”

Maka familisme merupakan hal yang tidak bermoral, memunculkan korupsi, dan membantu berkembangnya penyimpangan dari norma-norma universalisme dan kepantasan. Apa saja boleh, asal menguntungkan kepentingan diri dan keluarga. Dengan menggunakan argumentasi Banfield, maka tingginya angka korupsi di Indonesia mungkin saja disebabkan oleh tingginya spirit “amoral familisme”. 

Ketiga, Teori gift exchange dan gift giving yang berasal dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss. Dalam masyarakat primitif, relasi sosial dan interaksi antarwarga berlangsung hangat dan dekat satu sama lain. Mereka membangun hubungan sosial yang bersifat interaksi tatap muka, tecermin pada kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange) dan memberi bingkisan (gift giving).

Tukar hadiah menggambarkan suatu relasi harmonis di antara anggota masyarakat, melambangkan penghormatan sesama warga masyarakat, merefleksikan kohesivitas sosial yang kokoh, serta melukiskan kedekatan personal di antara pihak yang terlibat dalam pertukaran hadiah.
Bila seseorang diberi hadiah, ia memiliki kewajiban moral untuk membalas pemberian hadiah itu dengan nilai setara sebagai ungkapan penghargaan dan aktualisasi nilai-nilai kebajikan sosial. Ini merupakan bentuk etika sosial yang menandai penghormatan kepada sesama warga masyarakat. Mungkin karena tradisi ini sangat hidup dalam masyarakat kita, sehingga banyak orang kesal dengan edaran KPK yang mengatur pemberian hadiah pada saat Hari Raya, khususnya bagi penyelenggara negara.

Relativisme Budaya
Keempat, Teori Relativisme Budaya. Jika merujuk teori ini, terkait pengertian korupsi yang merujuk pada nilai-nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam masyarakat modern, bila seorang pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan atau menyelewengkan otoritas untuk kepentingan pribadi atau mendapat manfaat ekonomi dan keuntungan finansial dari jabatan yang diembannya, itu tergolong korupsi.

Ini berbeda dengan pemahaman masyarakat di negara patrimonial saat kekuasaan mengalami personalisasi dan jabatan publik dianggap sebagai milik pribadi. Di sini batasan antara wilayah publik dan pribadi menjadi kabur sehingga korupsi dalam pengertian modern untuk konteks masyarakat demikian menjadi relatif sebagaimana relativitas budaya di masyarakat yang berbeda-beda itu.

Berangkat dari beberapa perspektif di atas, jangan-jangan skandal korupsi tak berkesudahan di bangsa ini juga senafas dengan kebudayaan kita. Mungkin inilah yang membuat praktik korupsi di negeri ini seolah berlangsung sepanjang masa. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi juga mesti menggunakan pendekatan kebudayaan. Jika tidak, pemberantasan korupsi hanya akan berkutat pada tindakan penangkapan dan proses pengadilan para koruptor yang bernasib sial belaka. Bukankah demikian?(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages